Sangat
sulit menembus ruang dan waktu apabila orang yang bersangkutan tidak
menyadarinya. Jika orang lulusan Sekolah Dasar (SD), maka tidak memahami apa
itu menembus ruang dan waktu. Padahal sebuah batu pun yang tidak mengetahui
makna menembus ruang dan waktu pun sebenarnya juga menembus ruang dan waktu.
Menembus ruang dan waktu berkaitan dengan pemahaman seseorang. Jadi, kita
beruntung bisa sampai perguruan tinggi dan mempelajari filsafat sehingga kita
mengetahui tentang menembus ruang dan waktu.
Jika kehilangan atau tidak
mengetahui arah, berarti kehilangan intuisi ruang. Jika kita tidak menyadari
waktu berarti kita kehilangan intuisi waktu. Misalnya kita bangun tidur jam 9
malam kemudian buru-buru mandi dan mau berangkat sekolah, padahal dalam keadaan
malam, berarti kita kehilangan intuisi waktu.
Bagaimanapun system pedidikan, guru
dipercaya untuk mengejar di kelas. Maka otoritas dan kesempatan guru adalah
mengajar dan berkomunikasi di kelas. Tidak bisa dibayangkan jika kita hidup
tanpa intuisi. Karena tidak semua hal harus atau perlu definisi. Misalny ada
teman mengajak kita membeli makanan dan memilih menu yang enak. Maka kita tidak
perlu definisi enak, definisi menu, definisi makanan. Sejak kapan kita
mengetahui konsep enak? Sejak lahir. Itulah contoh intuisi, jadi tidak perlu
definisi. Contoh lain konsep panjang, pendek, cinta. Jadi tidak bisa
dibayangkan jika hidup tidak ada intuisi. Contoh yang tidak memiliki intuisi
adalah robot. Untuk melakukan sesuatu, robot perlu definisi dan tidak punya
intuisi. Jadi secahnggih apapun robot, masih kalah dengan manusia, karena
manusia ciptaan Tuhan penuh dengan intuisi, sedangkan robot tidak punya
intuisi. Sehingga alangkah baiknya dan hebatnya jika pembelajaran dimulai dan menggunakan
intuisi.
Bagaimana
memperoleh intuisi? Yaitu dengan cara hidup. Kalau orang Yunani menggunakan
hermeunitika, kalau orang kita menggunakan silaturahim, orang pendidikan
menggunakan eksplorasi, orang filsafat pendidikan menggunakan to construct. Terjemahan dari hermeunitika adalah terjemah dan
menerjemahkan. Jadi realistik matematik
yang paling bawah itu penting sekali. Jadi caranya menggapai intuisi dari siswa
itu menggunakan matematika konkret. Sebagai seorang guru kita tidak boleh
sedikit-sedikit meminta definisi kepada siswa. Siswa sebaiknya dilatih
mengekspresikan pengalamannya. Misalnya menurut kamu yang kamu pahami sebagai
enak itu apa? Yang kamu pahami sebagai sakit itu apa? Jadi tidak perlu
menggunakan kata definisi. Membedakan cinta dan kasih sayang itu juga tidak
perlu menggunakan definisi. Kecuali untuk terminology khusus, untuk karya
sastra, karya ilmiah, scientific, peraturan perundang-undangan itu boleh
menggunakan definisi. Jadi ada definisi operasional supaya tujuannya terukur.
Intuisi
tidak hanya empiris. Bagaimana anak kecil bisa membedakan ibunya dan neneknya.
Ketika tidur, ibu yang selalu mendampingiku. Mengetahui enak, panjang, pendek,
baik, buruk, benar, dan salah itu menggunakan intuisi. Tetapi intuisi tidak
hanya itu, tetapi ada intuisi murni. Intuisi murni itu jika kita berlatih
keras, latihan soal matematika, membuktikan teorema, lama-lama tahu karakter
dan sifat teorema dan belum mulai membuktikan saja sudah bisa menebak maksud
teoremanya begini. Maka ada intuisi orang-orang yang berpegalaman. Intuisi
seorang jendral berbeda dengan prajurit saat menghadapi peperangan, intuisi
seorang pejabat dan rakyat itu berbeda dalam hal yang sama. Caranya dengan
silaturahim, metode hidup yang paling alami.
Contoh metode
belajar yang sesuai dengan kodrat alam:
Jika kita
belajar tentang hal yang sama sekali belum mengetahui, kemudian menjadi sama
sekali mengetahui. Contohnya saat Pak Marsigit sebulan yang lalu akan mereview
ke sekolah SMP N 1 Bobotsari. Sebelum Pak Marsigit ke sana dan masih di
Yogyakarta, pemahaman Pak Marsigit tentang SMP N 1 Bobosari masih nol, cuma
sekedar nama di atas amplop. Kemudian Pak Marsigit pergi ke sana dengan 2 orang
teman. Setelah tiba di sana, Pak Marsigit dan temannya menginap di tempat
saudaranya. Esok harinya Pak Marsigit dan rombongan di jemput oleh perwakilan
SMP N 1 Bobotsari. Sehingga pikirannya mulai terbelah. Hari itu Pak Marsigit
dan romobongan pergi ke dinas pedidikan, lalu ke SMP N 1 Bobotsari untuk
mengambil gambar. Setengah hari pertama setelah mengambil gambar maka
pengetahuannya sudah mulai tumbuh dan
berkembang. Maka Pak Marsigit sudah memiliki banyak informasi tentang SMP N 1
Bobotsari. Setelah itu Pak Marsigit melakukan telaah dokumen Standar Nasional
Pendidikan, mulai dari SKL, Standar Isi, RPP, penilaian, keuangan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana. Kemudian guru-guru dikumpulkan, yang
berkaitan ditanya. Maka pengetahuannya mulai bertumbuh dan berkembang lagi.
Hari yang kedua akan observasi sarana dan prasarana. Maka setelah 2 hari,
pengetahuan tentang SMP N 1 Bobotsari sudah dalam posisi bertumbuh, berkembang,
berbuah, dan mulai berdiri kokoh. Lalu Pak Marsigit menyapaikan kepada kepala
sekolah untuk mengumpulkan guru-guru, karyawan, pengawas, dinas, sarana dan
prasarana akan diumumkan hasil monitoring dan evaluasi (monev) di SMP N 1
Bobotsari. Pertemuan akan dilakukan di aula menggunakan speaker aktif dan juga
LCD untuk menayangkan hasilnya. Pada akhir kunjungan selama 2 hari
pengetahuannya sudah berbuah, dan buahnya bisa dinikmati oleh kepada SMP, guru
yang lain tentang pemahaman Pak Marsigit tentang SMP N 1 Bobotsari. Inilah yang
disebut dengan konstruktivism. Hal ini berlaku untuk setiap hall yang kita
pelajari., termasuk dalil Pythagoras. Ini bisa terjadi 1 hari, 1 jam pelajaran,
bisa 2 jam pelajaran, dan bisa 1 semester. Misalnya pohon filsafat pendidikan
matematika. Itulah yang dimaksud pembelajaran yang sangat konstruktivism.
Gambar tersebut hanya satu-satunya yang dibuat oleh Pak Marsigit. Inilah
intuisi dari pengalaman, intuisi orang-orang yang berpengalaman menghasilkan.
Intuisii orang berpengalaman dan tidak berpengalaman berbeda. Selama ini
pengetahuan tentang intuisi hanya tulisan saja yang membuat kita bosan. Intuisi
itu seperti itu. Contoh lain, bagaimana seorang cucu mengetahui tentang
bapaknya. Cinta juga begitu, bisa selesai bisa belum. Tetapi pemahaman Pak
Marsigit tentang SMP N 1 Bobotsari tidak akan pernah selesai, dipotong 2 hari
karena terbatas ruang dan waktu. Seperti cinta Pak Marsigit terhadap istrinya
sudah berbuah, buahnya sudah bercucu, tetapi cintanya belum selesai, karena belum
bercinta di usia 70 tahun. Seperti halnya Bapak Habibie dan Ibu Ainun, walaupun
Ibu Ainun sudah meninggal dunia, tetapi Bapak Habibie masih mencintainya. Bapak
Habibie sering datang ke makam Ibu Ainun dan mendoakannya.
Orang berfilsafat itu berbahaya jika
salah ruang dan waktu, dan yang kedua jika parsial/sebagian/sepenggal-sepenggal
tidak komprehensif. Filsafat itu untuk orang dewasa. Belajar filsafat itu hanya
untuk diri kita sendiri dan orang-orang yang belajar filsafat saja, tidak bisa
diajarkan ke luar. Filsafat itu bukan untuk diajarkan pada siswa. hal itulah
yang membuat tangisan para filsuf. Kita belajar denga membaca elegy, sesuai
dengan gurunya supaya tidak tersesat. Bukan porsinya untuk menyampaikan bahwa
matematika itu kontradikif, matematika itu bukan ilmu. Harapannya setelah
belajar filsafat, kita menjadi mengendap, berbuah, menjadi bijaksana, kemudian
muncul produk baru yang mencerminkan belajar filsafat.
Selama ini karena kita sakit. Ciri-ciri
orang sakit, kepala tidak percaya pada tangan, kepala tidak percaya pada kaki,
tangan tidak percaya pada kaki, pejabat tidak percaya pada rakyat, pejabat
tidak percaya pada guru. Kurikulum di desain atas dasar ketidakpercayaan pada
guru. Kalau pejabat di Jakarta berbicara, sebenarnya UAN tidak diperlukan jika
guru dapat dipercaya, guru dirugikan. Yan terpenting adalah mau masuk sekolah
ada seleksi, mau masuk perguruan tinggi menggunakan seleksi. Tetapi sekarang
ini sama saja, karena masuk sekolah dengan seleksi sudah tidak bisa dipercaya.
Karena adanya kong kali kong, korupsi, dan sebelum masuk sudah ada calo supaya
mudah diterima. Karena Indonesia terletak di pusaran 4 sungai, yaitu sungai utilitarian, pragmatis, capital, dan
sungai hedonism. Karena di pusaran 4
sungai, maka arus di Indonesia tidak jelas. Ada yang arusnya muter-muter, ada
yang berbalik arah, sehingga banyak orang yang tenggelam. Tetapi juga ada atlet
yang berlatih dan menguji diri sehingga
tampil menjadi juara, bersenang-senang, bergembira ria. Sehingga umaroknya
bingung, ulamanya bingung. Yang jadi ulama juga tergoda, yang jadi ilmuan
tergoda, yang jadi artis tergoda, bahkan pak bupati juga tergoda. Baru menikah
4 hari cerai, nanti menikah 4 jam lalu cerai.
Internasional itu sampah, yang mutiara atau emas itu
adalah local jenius kita. Sekarang di Inggris sedang diperjuangkan pernikahan
sejenis di gereja. Itu adalah hal yang mengerikan jika sesame jenis menikah. Di
Jerman sekarang sedang dipersiapkan undang-undang melarang manusia melakuakan
seks dengan binatang, karena di sana sudah banyak terjadi praktek manusia
melakukan hubungan seks dengan hewan. Saat ini Indonesia berada pada muara
sungai sehingga mau kemanakah arah Indonesia? Itulah pertanyaan Pak Marsigit,
itulah saran Pak Marsigit ke pemerintah untuk pendidikan. Apakah ke industrial
trainer? Kita sudah tergoda ke sana saat pemerintahan Pak Habibie, basic science sebagai anak emasnya,
polanya persis sama dengan Amerika. Tapi kita harusnya tahu diri, jika tidak
mengerti pendidikan, maka janganlah mengurus masalah pendidikan. Apakah karena
dana pendidikan 20%, dananya yang paling banyak sehingga semua orang
berbondong-bondong untuk mengurus masalah pendidikan. Apakah mau ke technology
non pragmatis? Tetapi jelas kita old humanis? Tetapi jika sudah pejabat, dengan
gagahnya kita membicarakan untuk membangun karakter bangsa. Contohnya Belanda
adalah negara berkarakter sehingga mampu menjajah Indonesia 350 tahun. Karakter
mau dibawa kemana? Karakter itu bisa didefisikan dari siapa untuk siapa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar