Rabu, 23 Januari 2013

GAMBARAN UMUM TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA


Tidak mudah orang mengatakan cinta. tidak sembarang orang mengatakan cinta. cinta itu juga tidak sederhana, karena cinta itu berdimensi sampai pada dimensi spriritual. Maka kita jangan tergesa-gesa soal cinta, yang alami saja. Ada nyanyian mengatakan “jangan tergesa-gesa bilang I love you”. Dan ada juga ungkapan, “Darimana datangnya cinta? dari mata turun ke hati. Darimana datangnya lintah? Dari sawah turu ke kali.”
            Gambaran umum tentang filsafat pendidikan matematika. Filsafat pendidikan matematika, kalau kita ambil sebagian dari filsafat matematika atau filsafat pendidikan. Kalau filsafat pendidikan berarti ada filsafat-filsafat yang lain seperti filsafat matematika, filsafat saince, filsafat seni, dan sebagainya. Kemudian kita tarik ke depan sedikit menjadi filsafat umum. Maka aku temukan bahwa apapun filsafatnya, betapapun scope-nya, entah yang luas ataupun sempit, ibarat kromosom, kalau orang hidup ibarat genetika dan kromosom. Orang hidup itu ibarat genetika dan kromosom, struktur bayi dan oaring dewasa itu sama. Jika tidak sama, akan menjadi menakutkan. Akan menjadi berbeda jika ada anomaly atau penyakitnya atau kelainan. Seperti pada national geography, ada kelainan genetika. Jika digambarkan, genetika terdiri dari susunan DNA-DNA, sehingga setiap manusia tidak ada yang sama, sehingga bisa di lacak keturunan siapa. Sehingga kalau terjadi kelainan genetika karena fisik, benturan, zat kimia, zat pewarna, karena radiasi, radiasi nuklir yang membuat genetika berubah. Jangankan genetika berubah, ada satu genetika yang rusak, maka tubuh kita akan bermasalah. Misalnya ada yang mempunyai penyakit faskular, kelainan pada pembuluh darah yang terjadi pada leher. Hal itu terjadi karena ada gen pembuluh darah yang rusak sehingga pertumbuhan pembuluh darah pada leher tidak bisa dikendalikan sehingga menimbulkan masalah. Itu merupakan salah satu contoh peran genetika. Jika kita ingin mempertahanka genetika, maka jangan menikah dengan orang yang family-nya berdekatan, beda provinsi, beda kabupaten, dan sebagainya.
            Filsafat itu entah scope luas atau kecil ibarat genetika atau kromosom, ada strukturnya. Maka filsafat makro pada dunia ini strukturnya sama dengan struktur filsafat pada diriku, sama pada filsafat Negara, sama dengan kaum industrial trainer, strukturnya yang sama tetapi konten yang berbeda, metode yang berbeda. Strukturnya ada 3, yaitu ontology, epistimologi, dan aksiologi. Ontology adalah hakekat, epistimologi itu adalah metode. Tetai jika epistimologi dikatakan metode itu berarti pembicaraannya sangat primitive atau orang yang belum pernah mempelajari filsafat, karena sesungguhnya epistiologi itu adalah sumber pengetahuan, sumber ilmu, macam ilmu, kebenaran ilmu, referensi-referensi terkait, pengembangan ilmu. Antara ontology dan epistimologi itu tidak bisa dipisah. Dari struktur kata, kalau kita bicara soal hakekat atau ontology, tetapi hakekat tidak akan pernah bisa ditemukan jika tidak dipikirkan yaitu epistimologi. Salah satu cara memikirkan adakah menyadarinya. Letakan kesadaranmu di setiap hakekat, kesadaran itu adalah epistimologi. Salah satunya dengan mengajukan pertanyaan sederhana “Apakah hakekat itu?”. Hakekat adalah ontology, sedangkan kalau sudah menggunakan kata “apakah” maka disebut epistimologi. Jadi tidak bisa hakekat itu kita pelajari tanpa epistimologi, karena kita mempelajari itu adalah epistimologi. Karena sesungguhnya 3 struktur filsafat itu sangat penting. Ibarat tubuh kita antara jasmani dan rohani. Rohani kita segera pergi jika jasmani kita pergi meninggalkan dunia ini menuju akhirat. Jadi ada dua kesatuan, jasmani dan rohani.
            Semua yang kita pelajari dan kita bicarakan dalam filsafat adalah epistimologi. Orang mengatakan epistimologi sebagai filsafat ilmu. Maka sebenar-benarnya filsafat ilmu adalah filsafat itu sendiri. Jadi, semua elegi2 itu adalah epistimolgi karena kita berusaha untuk menuliskan, memikirkan, dan berdiskusi. Epistimologi salah satu contohnya adalah metode, tetapi bukan satu-satunya pendekatan. Jika direduksi kembali, maka epistimologi adalah teori berfikir secara filosofis. Maka, dalam mempelajari filsafat bersifat kontekstual, apakah orang Yunani, apakah orang yahudi, orang Indonesia, orang Jawa, orang amerika, dan seterusnya. Kontekstualnya orang Indonesia, khususnya Jawa, adat dan tata caranya berbeda. Kenapa bisa berbeda? Karena adat dan tata cara berfilsafat itu bersifat kontekstual. Kenapa bisa kontekstual? Karena berbicara filsafat itu bisa dalam scope yang lebih kecil, mikro osmosisnya diriku sendiri. Semua yang makro itu semuanya relevan. Fungsi onto atau bijektif atau satu-satu, isomorfisme antara makro dan mikro, unsur pendukungnya karena strukturnya sama. Kalau bapaknya perbuahan adalah Heraklitos, maka diriku yang berubah. Apa yang berubah? Yang berubah adalah umurku, berat tubuhku, seleraku, semuanya selalu berbuah. Sedangkan, bapaknya yang tetap adalah Permenides yang makro, di dalam diriku yang tetap. Apapun diriku adakah tetap sebagai makhuk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, tidak akan pernah berubah selamanya. Jadi di dalam kita berfilsafat very easy atau sangat mudah, yang berubah apanya dan yang tetap apanya. Jadi, jika orang belajar filsafat hanya sepenggal maka akan berbahaya sekali dan bingung. Dunia itu tetap, dunia itu berubah, maka terjadi kontradiksi yang membuat bingung dan pusing hingga demam karena memikirkan perubahan. Aku berikhtiar seakan akan hidup 1000 tahun lagi, dan aku berdoa seakan akan meninggal besok, begitulah spiritualnya. Jadi semua yang ada dalam filsafat itu relevan dalam hidup.
            Sceptic atau keraguan seperti halnya ragu jika ada orang yang mengatakan “I love you” berkali-kali. Bapaknya keragu-raguan itu adalah Rene Descartes. Di dalam diriku dan pikiranku ada keragu-raguan. Itulah awal dari pengetahuanmu. Jika keraguan itu ada di dalam hatimu, maka mungkin itu adalah setan, sehingga tunggulah sampai evidence untuk melangkah. Empiris adalah pengalaman, rasio adalah pikiranku, semuanya. Jadi jangan dikira filsafat itu jauh disana. Kita tidak perlu berziarah filsafat sampai Yunani. Jika kita ingin melihat dan mengetahui makronya, maka tengoklah pada dirimu sendiri. Karena sesungguhnya dunia itu persis seperti apa yang engkau pikirkan. Maka dalam perkembangan ini, untuk mempelajari filsafat harus menggunakan tata cara. Tidak hanya filsafat, tetapi untuk mempelajari segala sesuatu itu ada tata cara. Tata cara itu merupakan metode, metode itu adalah epistimologi. Jadi sah-sah saja jika ada orang yang mengatakan bahwa filsafat itu tidak lain tidak bukan adalah tata cara, adat. Hidup ini adalah proses. Proses itu sendiri adalah hasil. Hidup ini adalah jarak antara takdir dan ikhtar. Ternyata ikhtiar sendiri adalah takdir. Manusia ditakdirkan untuk bisa berikhtiar. Hidup ini seklaigus proses dan juga produknya.
Adat dalam belajar filsafat harus didasari spiritualtas, dan juga darus dipayungi spiritualtas, bawah spiritualitas, atas spiritualitas. Jadi filsafat itu tidak lain tidak bukan jarak antara dua spiritualitas. Berfilsafat itu untuk memperkokoh spiritualitas kita, untuk mengisi agar hidup ini dalam beribadah lebih bermakna menggunakan filsafat. jika tidak akan berbahayanya. Bahayanya orang berfilsafat jika tidak komprehensif atau sepenggal-sepenggal. Maka dalam menulis elegy ada elegy menggapai ramai, kemudian ada elegy menggapai sepi, sehingga ada kontradiksi. Sehingga ada orang yang komentar bahwa kepribadian pak marsigit yang bingung. Karena bapak kebingungan adalah pak marsigit, simbah kebingungan juga pak marsigit. Karena ternyata, supaya kita memperoleh kejelasan pengetahuan melalui kebingunan-kebingunan. Kebingungan yang dimaksud disini bungan kebingungan di dalam hati seperti yang kita harapkan, melainkan kebingungan yang berupa sintesis. Contohnya elegy menggapai ramai, berikutnya elegy menggapai sepi, pemberontakan para benar, selanjutnya pemberontakan para salah. Jika dilihat sepintas, maka akan menyaksikan kebingungan yang luar biasa sekali di sana. Jadi berbahayanya itu jika tidak komprehensif, dikiranya orang harus memilih salah satu, memilih yang berubah atau yang tetap. Apalagi jika dikatakan kita ini sekaligus berubah sekaligus tetap, maka akan menjadi bingung lagi. Selanjutnya apabila dikatakan hidup itu adalah kontradiksi, maka akan semakin bingung lagi.
Jika diibaratkan akan sangat mudah, dunia ini sekaligus siang sekaligus malam, sekaligus panas sekaligus dingin, diriku yang berubah sekaligus tetap. Apanya yang dingin dan apanya yang panas? Karena kalimatnya belum diteruskan maka akan menjadi berbahaya, karena bersifat parsial. Maka berfilsafat adalah menjelaskan. Penjelasan adalah metode berfikir, dan metode berfikir itu adalah epistimologi. Contoh lain: ada pernyataan bahwa Descartes itu meragukan Tuhan. Padahal kalimatnya tidak berhenti sampai disitu, melainkan Descartes itu meragukan Tuhan dalam rangka untuk menemukan Tuhan. Walaupun kita tidak mengikuti cara seperti itu untuk menemukan Tuhan, karena sesungguhnya sesuai dengan imanku, tidak ada keraguan sedikitpun terhadap Tuhanku. Ada lagi pernyataan lain yang menyatakan bahwa matematika itu adalah agama, sehingga membuat orang menjadi kebingungan. Padahal, pernyataan itu ada pada jaman Pythagoras, yaitu sekitar 2000-2500 tahun sebelum masehi, yang saat itu belum ada agama. Jadi sebenarnya wajar saja apabila pada jaman itu dikatakan matematika adalah agama. Jadi akan sangat berbahaya sekali apabila filsafat itu dipelajari secara parsial, sepenggal-sepenggal. Jadi jangan sampai kita mencoba bertanya, “Mengapa Tuhan tidak mampu mengangkat batu yang besar sekali?”. Karena dengan begitu berarti kita masukan semua unsure dalam filsafat. Itulah kengerian dalam berfilsafat, jika tidak didasari dengan spiritualitas.
Unsur spiritual itu sangatlah penting. Jangankan yang tampak, yang tidak tampakpun kita juga merasakan. Misalnya ada seseorang yang sedang marah pada orang lain, tetapi tidak dapat memikirkan dan merasakan apa penyebabnya bisa marah terhadap orang lain. Maka saat kita memikirkan sesuatu tapi tidak sampai, logikanya tidak nyambung, sebenarnya spiritual kita mengalami degradasi, mengalami erosi. Jika sampai pada taraf seperti itu, maka aku mengajak diriku untuk berdoa. Berdoa itu tidak main-main. Jangankan berdoa, memanggil nama orang saja berdimensi, mau sms saja berdimensi. Misalnya untuk sms kepada dosen, maka harus dengan kata-kata dan kalimat yang sopan dan santun. Apalagi jika memanggil nama Tuhan, maka tidak boleh main-main.
Untuk mempelajari tata cara beribadah yang benar, maka kita bisa mendatangi guru spiritual, ulama, atau datang dan tinggal beberapa hari di tempat ibadah. Pada saat tinggal di tempat ibadah itu, kita bisa belajar dan membenarkan tata cara beribadah kita supaya semakin besar. Bahkan, menyebut nama Tuhan harus benar dan tidak boleh sembarangan. Di tempat itu kita bisa memperbanyak doa yang kita panjatkan kepada Tuhan, karena sesungguhnya kita harus bedoa yang banyak. Doa adalah komunikasi kita dengan Tuhan sendiri. Dalam memanggil nama Tuhan, kita bisa menggunakan tasbih, tetapi cara menggunakannya harus pelan-pelan dan memaknai dalam menyebutnya, jangan hanya asal cepat saja. Doa juga dapat menciptakan medan doa, sehingga minuman yang berada di sekitar orang berdoa pun dikenai medan doa. Maka jika kita ke Bali, maka kita dipurifikasi di sana. Maka saat minuman sudah didoakan, maka bisa digunakan untuk obat, untuk sebagian mandi, dan sebagainya. Pada intinya bedoa itu sebanyak-banyaknya, jangan ngirit berdoa.
Kalau kita sudah risau dalam pikiran, maka segeralah kita berdoa, untuk mohon ampun dari Tuhan. Bahkan di dalam spiritual ada metafisiknya. Orang-orang yang sudah punya intuisi yang tinggi,dikatakan orang pintar. Doa spiritual ada 2 macam yaitu baik dan buruk, suci dan tidak suci. Maka sebelum makan sebaiknya kita berdoa supaya makanannya menjadi suci. Seperti halnya orang Sufi, jika melihat makanan yang belum didoakan sebelum dimakan, maka meihat mie yang ada di pinggir jalan seperti meluhat cacing. Melihat orang yang tidak pernah berdoa, sama dengan mayat berjalan. Sama halnya dengan filsuf yang tinggi, jika kita tidak memikirkannya, kita sebagai mayat yang berjalan.
Adat yang kedua, kita mengetahui objek, metode, karakteristik, sifat filsafat, scope-nya berfilsafat. Maka metodenya berfilsafat disesuaikan dengan hakikat filsafat. objeknya filsafat adalah yang ada dan yang mungkin ada, disesuaikan dengan scope-nya. Kalau filsafat pendidikan matematika, maka objeknya adalah yang ada dan yang mungkin ada di dalam pendidikan matematika. Kalau metodenya, orang Yunani menyatakan dengan hermeunitika atau terjemah dan menerjemahkan. Maka hermeunitika itu subur di area gereja, karena orang gereja menggunakan hermeunitika untuk memahami kitap suci, terjemahkan dan menerjemahkan. Tetapi itu sebenarnya unsure hidup, whatever keadaanya orang akan menggunakan metode hidup, mulai dari kecambah sampai berbuah. Atau bahasa yang lazim digunakan di kalangan orang Jawa adalah silaturahim. Dikatakan bahwa silaturahim dapat menambah rezeki, bisa menambah umur itu benar, karena silaturahim itu mencari ilmu, metode membangun ilmu, menambah ilmu.
Kalau kita mau belajar matematika, maka perlu diingat bahwa fungsi guru adalah memfasilitasi siswa untuk bersilaturahim dengan matematika. Matematika yang mana? School mathematics, disesuaikan dengan dunianya, jangan dipaksakan dengan matematika orang dewasa. Maka sebagai dosen filsafat, Pak Marsigit berfungsi memfasilitasi kita melalui online, blog, coment, elegy, memfasilitasi kita agar dapat bersilaturahim dengan para filsuf. Inilah adab yang kedua.
Adab yang ketiga yaitu dalam berfilsafat sifat-sifatnya bisa diturunkan, berfilsafat itu berdimensi, dimensi, karena berfilsafat itu ekstensif dan intensif, sehingga memunculkan dimensi. Dimensi apa? Dimensi ruang dan waktu. Itu kan hanya 2, padahal jika kita berfikir ekstensi, yang 2 bisa dikembangka menjadi dimensi politik, dimensi masyarakat, dimensi agama. Ternyata aku bisa menemukan bahwa dimensi itu meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Sehingga dengan adanya dimensi itu, maka berfilsafat itu haruslah santun terhadap dimensi ruang da waktu, dan ternyata sesungguhnya tidak hanya dimensi ruang dan waktu saja, tetapi kita harus santun, sadar dan mengerti. Sadar dan mengerti kemudian bisa bersikap sesuai dengan pengetahuannya, itu namanya santun. Jika ada pertayaan, “Bagaimana cara mengajarkan filsafat pada anak-anak?”. Siswa bukan belajar Plato, Aristoteles, Rene Descartes diajarkan, malahan akan membuat anak-anak bingung. Tujuan kita belajar filsafat adalah kita akan memperoleh kualitas 1, turun menjadi 2, turun menjadi 3. Kualitas 1 adalah yang aku lihat, dengar, dan dipegang. Kualitas 2 adalah apa yang ada disebaliknya. Selama ini yang kita kenal adalah metafisik, ditambah lagi metakognisi, kemudian metamatematika. Padahal di dalam filsafat, unsure pembebasnya adalah notion atau kata-kata yang menyatakan sebagai yang mungkin ada. Dengan kata-kata yang mungkin ada itu merupakan unsur pembebas, cuma harus dikendalikan. Jika tidak dikendalikan oleh spiritual maka akan menjadi sangat berbahaya. Jadi, kita harus sadar terhadap ruang dan waktu. Jika kita mempelajari filsafat bukan untuk mengajarkannya kepada anak SD, tetapi untuk beraktualisasi diri. Misalnya tokoh kontruktivis ini, teorinya ini. Konstruktivis sesungguhnya intinya adalah pohon yang berbuah ini. Jadi jika kita sudah belajar filsafat, sangat naïf jika berkata untuk menanamkan konsep, mencetak guru. Artinya dalil Pythagoras mempunyai berbagai macam filsafat, saat guru menulis di papan tulis dan siswa melihatnya itu baru kualitas 1, lalu bagaimna agar siswa mencapai kualitas 2?
Berfilsafat itu tidak boleh parsial, harus dalam keadaan sehat, keseimbangan. Maka filsafat dekat dengan kehidupan kita. Maka sebagai calon guru kita harus memperoleh kembali intuisi yang harusnya di dapatkan anak-anak.  Karena ada 98% intuisi, berarti hanya 2% yang perlu didefinisikan secara formal. Sebagian pertanyaan siswa itu jawabannya adalah pada intuisi. Istilah-istilah ada yang tumbuh dan berkembang, tetapi ada juga yang mati. Jaman dulu sering disebut sebagai bekas camat, bekas gubernur. Maka supaya menjadi lebih terhormat disebut mantan camat, mantan gubernur.
Berbicara tentang pendidikan Indonesia, sejak jaman kemerdekaan kita belum pernah pas mengisi kemerdekaan dengan falsafah negara yaitu Pancasila. Artinya segala macam kehidupan kita menuju demokrasi pancasila. Seharusnya menurut peta Paul Ernest, yang bersusaian adalah Public Educator atau yang Progressive. Tetapi dari dulu sampai sekarang belum pernah terjadi pendidikan yang desentralisasi, masih menggunakan UAN yang sentralisasi. Jadi segala macam krisis dikarenakan pendidikan yang belum pas. Contohnya pada masa Pak Habibie, menteri pendidikannya adalah Pak Wardiman, yaitu back to basic, anak SD hanya perlu bisa membaca, menulis dan berhitung. UAN atau external test merupakan 3 bagian yang kiri, yaitu industrial trainer, technological pragmatis, dan old humanis. Jadi saran Pak Marsigit terhadap pendidikan sesuai dengan peta dunia yang dibuat sendiri oleh Pak Marsigit dari hasil emmbaca Paul Ernest.
Sungguh betapa tidak sehat pendidikan Indonesia, karena kepala ke kampus, tetapi perut ke belakang. Seharusnya jika kepala ke kampus, maka tangan dan kaki juga ke kampus, semuannya ke kampus supaya pendidikan menjadi sehat. Hal itu menunjukkan bahwa bangsa Indonesia dari kemerdekaan sampai sekarang tidak konsisten. Kedua, Bangsa Indonesia tidak mampu mengisi dasar falsafah negara, karena kita lebih banyak terpengaruh oleh tekanan, powernow industry. Padahal jika kita mau konsisten, seperti India yang swadesi dan sebagainya maka berdiri menjadi negara maju. Karaker Indonesia sudah terlanjur tidak jelas. Salah satu alasan memperbaiki kurikulum 2013 karena anak Indonesia tidak mampu mengerjakan soal-soal setara team seperti anak-anak di Amerika. Karakter itu sangat penting bagi kita, sesuai dengan Pancasila yang pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, kita bisa memakai itu. Sejak kemerdekaan kapan kita mengisi kemerdekaan? Yang namanya demokrasi Pancasila dalam dunia pendidikan itu apa? Masyarakatnya harus prulal, heterogenomeus, masyarakatnya harus desentralisasi, menghargai budaya local. Tetapi pada jaman Pak Suharto arahnya ke monokultur, dari Sabang sampai Merauke kurikulumnya sama, kurikulum Indonesia, pakaiannya satu yaitu pakaian Indonesia, tariannya satu yaitu tarian Indonesia.

Tidak ada komentar: