Tidak
mudah orang mengatakan cinta. tidak sembarang orang mengatakan cinta. cinta itu
juga tidak sederhana, karena cinta itu berdimensi sampai pada dimensi
spriritual. Maka kita jangan tergesa-gesa soal cinta, yang alami saja. Ada
nyanyian mengatakan “jangan tergesa-gesa bilang I love you”. Dan ada juga
ungkapan, “Darimana datangnya cinta? dari mata turun ke hati. Darimana
datangnya lintah? Dari sawah turu ke kali.”
Gambaran umum tentang filsafat
pendidikan matematika. Filsafat pendidikan matematika, kalau kita ambil
sebagian dari filsafat matematika atau filsafat pendidikan. Kalau filsafat
pendidikan berarti ada filsafat-filsafat yang lain seperti filsafat matematika,
filsafat saince, filsafat seni, dan sebagainya. Kemudian kita tarik ke depan
sedikit menjadi filsafat umum. Maka aku temukan bahwa apapun filsafatnya,
betapapun scope-nya, entah yang luas
ataupun sempit, ibarat kromosom, kalau orang hidup ibarat genetika dan
kromosom. Orang hidup itu ibarat genetika dan kromosom, struktur bayi dan
oaring dewasa itu sama. Jika tidak sama, akan menjadi menakutkan. Akan menjadi
berbeda jika ada anomaly atau penyakitnya atau kelainan. Seperti pada national
geography, ada kelainan genetika. Jika digambarkan, genetika terdiri dari susunan
DNA-DNA, sehingga setiap manusia tidak ada yang sama, sehingga bisa di lacak
keturunan siapa. Sehingga kalau terjadi kelainan genetika karena fisik,
benturan, zat kimia, zat pewarna, karena radiasi, radiasi nuklir yang membuat
genetika berubah. Jangankan genetika berubah, ada satu genetika yang rusak,
maka tubuh kita akan bermasalah. Misalnya ada yang mempunyai penyakit faskular,
kelainan pada pembuluh darah yang terjadi pada leher. Hal itu terjadi karena
ada gen pembuluh darah yang rusak sehingga pertumbuhan pembuluh darah pada
leher tidak bisa dikendalikan sehingga menimbulkan masalah. Itu merupakan salah
satu contoh peran genetika. Jika kita ingin mempertahanka genetika, maka jangan
menikah dengan orang yang family-nya berdekatan, beda provinsi, beda kabupaten,
dan sebagainya.
Filsafat itu entah scope luas atau kecil ibarat genetika
atau kromosom, ada strukturnya. Maka filsafat makro pada dunia ini strukturnya
sama dengan struktur filsafat pada diriku, sama pada filsafat Negara, sama
dengan kaum industrial trainer, strukturnya yang sama tetapi konten yang
berbeda, metode yang berbeda. Strukturnya ada 3, yaitu ontology, epistimologi,
dan aksiologi. Ontology adalah hakekat, epistimologi itu adalah metode. Tetai
jika epistimologi dikatakan metode itu berarti pembicaraannya sangat primitive
atau orang yang belum pernah mempelajari filsafat, karena sesungguhnya
epistiologi itu adalah sumber pengetahuan, sumber ilmu, macam ilmu, kebenaran
ilmu, referensi-referensi terkait, pengembangan ilmu. Antara ontology dan
epistimologi itu tidak bisa dipisah. Dari struktur kata, kalau kita bicara soal
hakekat atau ontology, tetapi hakekat tidak akan pernah bisa ditemukan jika
tidak dipikirkan yaitu epistimologi. Salah satu cara memikirkan adakah
menyadarinya. Letakan kesadaranmu di setiap hakekat, kesadaran itu adalah
epistimologi. Salah satunya dengan mengajukan pertanyaan sederhana “Apakah
hakekat itu?”. Hakekat adalah ontology, sedangkan kalau sudah menggunakan kata
“apakah” maka disebut epistimologi. Jadi tidak bisa hakekat itu kita pelajari
tanpa epistimologi, karena kita mempelajari itu adalah epistimologi. Karena
sesungguhnya 3 struktur filsafat itu sangat penting. Ibarat tubuh kita antara
jasmani dan rohani. Rohani kita segera pergi jika jasmani kita pergi
meninggalkan dunia ini menuju akhirat. Jadi ada dua kesatuan, jasmani dan
rohani.
Semua yang kita pelajari dan kita
bicarakan dalam filsafat adalah epistimologi. Orang mengatakan epistimologi
sebagai filsafat ilmu. Maka sebenar-benarnya filsafat ilmu adalah filsafat itu
sendiri. Jadi, semua elegi2 itu adalah epistimolgi karena kita berusaha untuk
menuliskan, memikirkan, dan berdiskusi. Epistimologi salah satu contohnya
adalah metode, tetapi bukan satu-satunya pendekatan. Jika direduksi kembali,
maka epistimologi adalah teori berfikir secara filosofis. Maka, dalam
mempelajari filsafat bersifat kontekstual, apakah orang Yunani, apakah orang
yahudi, orang Indonesia, orang Jawa, orang amerika, dan seterusnya.
Kontekstualnya orang Indonesia, khususnya Jawa, adat dan tata caranya berbeda.
Kenapa bisa berbeda? Karena adat dan tata cara berfilsafat itu bersifat
kontekstual. Kenapa bisa kontekstual? Karena berbicara filsafat itu bisa dalam scope yang lebih kecil, mikro osmosisnya
diriku sendiri. Semua yang makro itu semuanya relevan. Fungsi onto atau
bijektif atau satu-satu, isomorfisme antara makro dan mikro, unsur pendukungnya
karena strukturnya sama. Kalau bapaknya perbuahan adalah Heraklitos, maka
diriku yang berubah. Apa yang berubah? Yang berubah adalah umurku, berat tubuhku,
seleraku, semuanya selalu berbuah. Sedangkan, bapaknya yang tetap adalah
Permenides yang makro, di dalam diriku yang tetap. Apapun diriku adakah tetap
sebagai makhuk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, tidak akan pernah berubah
selamanya. Jadi di dalam kita berfilsafat very
easy atau sangat mudah, yang berubah apanya dan yang tetap apanya. Jadi,
jika orang belajar filsafat hanya sepenggal maka akan berbahaya sekali dan
bingung. Dunia itu tetap, dunia itu berubah, maka terjadi kontradiksi yang
membuat bingung dan pusing hingga demam karena memikirkan perubahan. Aku
berikhtiar seakan akan hidup 1000 tahun lagi, dan aku berdoa seakan akan
meninggal besok, begitulah spiritualnya. Jadi semua yang ada dalam filsafat itu
relevan dalam hidup.
Sceptic
atau keraguan seperti halnya ragu jika ada orang yang mengatakan “I love you” berkali-kali. Bapaknya
keragu-raguan itu adalah Rene Descartes. Di dalam diriku dan pikiranku ada
keragu-raguan. Itulah awal dari pengetahuanmu. Jika keraguan itu ada di dalam
hatimu, maka mungkin itu adalah setan, sehingga tunggulah sampai evidence untuk
melangkah. Empiris adalah pengalaman, rasio adalah pikiranku, semuanya. Jadi
jangan dikira filsafat itu jauh disana. Kita tidak perlu berziarah filsafat
sampai Yunani. Jika kita ingin melihat dan mengetahui makronya, maka tengoklah
pada dirimu sendiri. Karena sesungguhnya dunia itu persis seperti apa yang
engkau pikirkan. Maka dalam perkembangan ini, untuk mempelajari filsafat harus
menggunakan tata cara. Tidak hanya filsafat, tetapi untuk mempelajari segala
sesuatu itu ada tata cara. Tata cara itu merupakan metode, metode itu adalah
epistimologi. Jadi sah-sah saja jika ada orang yang mengatakan bahwa filsafat
itu tidak lain tidak bukan adalah tata cara, adat. Hidup ini adalah proses.
Proses itu sendiri adalah hasil. Hidup ini adalah jarak antara takdir dan
ikhtar. Ternyata ikhtiar sendiri adalah takdir. Manusia ditakdirkan untuk bisa
berikhtiar. Hidup ini seklaigus proses dan juga produknya.
Adat
dalam belajar filsafat harus didasari spiritualtas, dan juga darus dipayungi
spiritualtas, bawah spiritualitas, atas spiritualitas. Jadi filsafat itu tidak
lain tidak bukan jarak antara dua spiritualitas. Berfilsafat itu untuk
memperkokoh spiritualitas kita, untuk mengisi agar hidup ini dalam beribadah
lebih bermakna menggunakan filsafat. jika tidak akan berbahayanya. Bahayanya
orang berfilsafat jika tidak komprehensif atau sepenggal-sepenggal. Maka dalam
menulis elegy ada elegy menggapai ramai, kemudian ada elegy menggapai sepi,
sehingga ada kontradiksi. Sehingga ada orang yang komentar bahwa kepribadian
pak marsigit yang bingung. Karena bapak kebingungan adalah pak marsigit, simbah
kebingungan juga pak marsigit. Karena ternyata, supaya kita memperoleh
kejelasan pengetahuan melalui kebingunan-kebingunan. Kebingungan yang dimaksud
disini bungan kebingungan di dalam hati seperti yang kita harapkan, melainkan
kebingungan yang berupa sintesis. Contohnya elegy menggapai ramai, berikutnya
elegy menggapai sepi, pemberontakan para benar, selanjutnya pemberontakan para
salah. Jika dilihat sepintas, maka akan menyaksikan kebingungan yang luar biasa
sekali di sana. Jadi berbahayanya itu jika tidak komprehensif, dikiranya orang
harus memilih salah satu, memilih yang berubah atau yang tetap. Apalagi jika dikatakan
kita ini sekaligus berubah sekaligus tetap, maka akan menjadi bingung lagi. Selanjutnya
apabila dikatakan hidup itu adalah kontradiksi, maka akan semakin bingung lagi.
Jika
diibaratkan akan sangat mudah, dunia ini sekaligus siang sekaligus malam, sekaligus
panas sekaligus dingin, diriku yang berubah sekaligus tetap. Apanya yang dingin
dan apanya yang panas? Karena kalimatnya belum diteruskan maka akan menjadi
berbahaya, karena bersifat parsial. Maka berfilsafat adalah menjelaskan.
Penjelasan adalah metode berfikir, dan metode berfikir itu adalah epistimologi.
Contoh lain: ada pernyataan bahwa Descartes itu meragukan Tuhan. Padahal
kalimatnya tidak berhenti sampai disitu, melainkan Descartes itu meragukan
Tuhan dalam rangka untuk menemukan Tuhan. Walaupun kita tidak mengikuti cara
seperti itu untuk menemukan Tuhan, karena sesungguhnya sesuai dengan imanku,
tidak ada keraguan sedikitpun terhadap Tuhanku. Ada lagi pernyataan lain yang menyatakan
bahwa matematika itu adalah agama, sehingga membuat orang menjadi kebingungan.
Padahal, pernyataan itu ada pada jaman Pythagoras, yaitu sekitar 2000-2500
tahun sebelum masehi, yang saat itu belum ada agama. Jadi sebenarnya wajar saja
apabila pada jaman itu dikatakan matematika adalah agama. Jadi akan sangat
berbahaya sekali apabila filsafat itu dipelajari secara parsial,
sepenggal-sepenggal. Jadi jangan sampai kita mencoba bertanya, “Mengapa Tuhan
tidak mampu mengangkat batu yang besar sekali?”. Karena dengan begitu berarti
kita masukan semua unsure dalam filsafat. Itulah kengerian dalam berfilsafat,
jika tidak didasari dengan spiritualitas.
Unsur
spiritual itu sangatlah penting. Jangankan yang tampak, yang tidak tampakpun
kita juga merasakan. Misalnya ada seseorang yang sedang marah pada orang lain,
tetapi tidak dapat memikirkan dan merasakan apa penyebabnya bisa marah terhadap
orang lain. Maka saat kita memikirkan sesuatu tapi tidak sampai, logikanya
tidak nyambung, sebenarnya spiritual kita mengalami degradasi, mengalami erosi.
Jika sampai pada taraf seperti itu, maka aku mengajak diriku untuk berdoa.
Berdoa itu tidak main-main. Jangankan berdoa, memanggil nama orang saja
berdimensi, mau sms saja berdimensi. Misalnya untuk sms kepada dosen, maka
harus dengan kata-kata dan kalimat yang sopan dan santun. Apalagi jika memanggil
nama Tuhan, maka tidak boleh main-main.
Untuk
mempelajari tata cara beribadah yang benar, maka kita bisa mendatangi guru
spiritual, ulama, atau datang dan tinggal beberapa hari di tempat ibadah. Pada
saat tinggal di tempat ibadah itu, kita bisa belajar dan membenarkan tata cara
beribadah kita supaya semakin besar. Bahkan, menyebut nama Tuhan harus benar
dan tidak boleh sembarangan. Di tempat itu kita bisa memperbanyak doa yang kita
panjatkan kepada Tuhan, karena sesungguhnya kita harus bedoa yang banyak. Doa
adalah komunikasi kita dengan Tuhan sendiri. Dalam memanggil nama Tuhan, kita
bisa menggunakan tasbih, tetapi cara menggunakannya harus pelan-pelan dan
memaknai dalam menyebutnya, jangan hanya asal cepat saja. Doa juga dapat
menciptakan medan doa, sehingga minuman yang berada di sekitar orang berdoa pun
dikenai medan doa. Maka jika kita ke Bali, maka kita dipurifikasi di sana. Maka
saat minuman sudah didoakan, maka bisa digunakan untuk obat, untuk sebagian
mandi, dan sebagainya. Pada intinya bedoa itu sebanyak-banyaknya, jangan ngirit
berdoa.
Kalau
kita sudah risau dalam pikiran, maka segeralah kita berdoa, untuk mohon ampun
dari Tuhan. Bahkan di dalam spiritual ada metafisiknya. Orang-orang yang sudah
punya intuisi yang tinggi,dikatakan orang pintar. Doa spiritual ada 2 macam
yaitu baik dan buruk, suci dan tidak suci. Maka sebelum makan sebaiknya kita
berdoa supaya makanannya menjadi suci. Seperti halnya orang Sufi, jika melihat
makanan yang belum didoakan sebelum dimakan, maka meihat mie yang ada di
pinggir jalan seperti meluhat cacing. Melihat orang yang tidak pernah berdoa,
sama dengan mayat berjalan. Sama halnya dengan filsuf yang tinggi, jika kita
tidak memikirkannya, kita sebagai mayat yang berjalan.
Adat
yang kedua, kita mengetahui objek, metode, karakteristik, sifat filsafat, scope-nya berfilsafat. Maka metodenya berfilsafat
disesuaikan dengan hakikat filsafat. objeknya filsafat adalah yang ada dan yang
mungkin ada, disesuaikan dengan scope-nya.
Kalau filsafat pendidikan matematika, maka objeknya adalah yang ada dan yang
mungkin ada di dalam pendidikan matematika. Kalau metodenya, orang Yunani
menyatakan dengan hermeunitika atau terjemah dan menerjemahkan. Maka
hermeunitika itu subur di area gereja, karena orang gereja menggunakan
hermeunitika untuk memahami kitap suci, terjemahkan dan menerjemahkan. Tetapi
itu sebenarnya unsure hidup, whatever keadaanya orang akan menggunakan metode
hidup, mulai dari kecambah sampai berbuah. Atau bahasa yang lazim digunakan di
kalangan orang Jawa adalah silaturahim. Dikatakan bahwa silaturahim dapat
menambah rezeki, bisa menambah umur itu benar, karena silaturahim itu mencari
ilmu, metode membangun ilmu, menambah ilmu.
Kalau
kita mau belajar matematika, maka perlu diingat bahwa fungsi guru adalah
memfasilitasi siswa untuk bersilaturahim dengan matematika. Matematika yang
mana? School mathematics, disesuaikan dengan dunianya, jangan dipaksakan dengan
matematika orang dewasa. Maka sebagai dosen filsafat, Pak Marsigit berfungsi
memfasilitasi kita melalui online, blog, coment, elegy, memfasilitasi kita agar
dapat bersilaturahim dengan para filsuf. Inilah adab yang kedua.
Adab
yang ketiga yaitu dalam berfilsafat sifat-sifatnya bisa diturunkan, berfilsafat
itu berdimensi, dimensi, karena berfilsafat itu ekstensif dan intensif,
sehingga memunculkan dimensi. Dimensi apa? Dimensi ruang dan waktu. Itu kan
hanya 2, padahal jika kita berfikir ekstensi, yang 2 bisa dikembangka menjadi
dimensi politik, dimensi masyarakat, dimensi agama. Ternyata aku bisa menemukan
bahwa dimensi itu meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Sehingga dengan
adanya dimensi itu, maka berfilsafat itu haruslah santun terhadap dimensi ruang
da waktu, dan ternyata sesungguhnya tidak hanya dimensi ruang dan waktu saja,
tetapi kita harus santun, sadar dan mengerti. Sadar dan mengerti kemudian bisa
bersikap sesuai dengan pengetahuannya, itu namanya santun. Jika ada pertayaan,
“Bagaimana cara mengajarkan filsafat pada anak-anak?”. Siswa bukan belajar
Plato, Aristoteles, Rene Descartes diajarkan, malahan akan membuat anak-anak
bingung. Tujuan kita belajar filsafat adalah kita akan memperoleh kualitas 1,
turun menjadi 2, turun menjadi 3. Kualitas 1 adalah yang aku lihat, dengar, dan
dipegang. Kualitas 2 adalah apa yang ada disebaliknya. Selama ini yang kita
kenal adalah metafisik, ditambah lagi metakognisi, kemudian metamatematika. Padahal
di dalam filsafat, unsure pembebasnya adalah notion atau kata-kata yang
menyatakan sebagai yang mungkin ada. Dengan kata-kata yang mungkin ada itu
merupakan unsur pembebas, cuma harus dikendalikan. Jika tidak dikendalikan oleh
spiritual maka akan menjadi sangat berbahaya. Jadi, kita harus sadar terhadap
ruang dan waktu. Jika kita mempelajari filsafat bukan untuk mengajarkannya
kepada anak SD, tetapi untuk beraktualisasi diri. Misalnya tokoh kontruktivis
ini, teorinya ini. Konstruktivis sesungguhnya intinya adalah pohon yang berbuah
ini. Jadi jika kita sudah belajar filsafat, sangat naïf jika berkata untuk
menanamkan konsep, mencetak guru. Artinya dalil Pythagoras mempunyai berbagai
macam filsafat, saat guru menulis di papan tulis dan siswa melihatnya itu baru
kualitas 1, lalu bagaimna agar siswa mencapai kualitas 2?
Berfilsafat
itu tidak boleh parsial, harus dalam keadaan sehat, keseimbangan. Maka filsafat
dekat dengan kehidupan kita. Maka sebagai calon guru kita harus memperoleh
kembali intuisi yang harusnya di dapatkan anak-anak. Karena ada 98% intuisi, berarti hanya 2% yang
perlu didefinisikan secara formal. Sebagian pertanyaan siswa itu jawabannya
adalah pada intuisi. Istilah-istilah ada yang tumbuh dan berkembang, tetapi ada
juga yang mati. Jaman dulu sering disebut sebagai bekas camat, bekas gubernur.
Maka supaya menjadi lebih terhormat disebut mantan camat, mantan gubernur.
Berbicara
tentang pendidikan Indonesia, sejak jaman kemerdekaan kita belum pernah pas
mengisi kemerdekaan dengan falsafah negara yaitu Pancasila. Artinya segala
macam kehidupan kita menuju demokrasi pancasila. Seharusnya menurut peta Paul
Ernest, yang bersusaian adalah Public Educator atau yang Progressive. Tetapi
dari dulu sampai sekarang belum pernah terjadi pendidikan yang desentralisasi,
masih menggunakan UAN yang sentralisasi. Jadi segala macam krisis dikarenakan
pendidikan yang belum pas. Contohnya pada masa Pak Habibie, menteri
pendidikannya adalah Pak Wardiman, yaitu back to basic, anak SD hanya perlu
bisa membaca, menulis dan berhitung. UAN atau external test merupakan 3 bagian
yang kiri, yaitu industrial trainer, technological pragmatis, dan old humanis.
Jadi saran Pak Marsigit terhadap pendidikan sesuai dengan peta dunia yang dibuat
sendiri oleh Pak Marsigit dari hasil emmbaca Paul Ernest.
Sungguh
betapa tidak sehat pendidikan Indonesia, karena kepala ke kampus, tetapi perut
ke belakang. Seharusnya jika kepala ke kampus, maka tangan dan kaki juga ke
kampus, semuannya ke kampus supaya pendidikan menjadi sehat. Hal itu
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia dari kemerdekaan sampai sekarang tidak
konsisten. Kedua, Bangsa Indonesia tidak mampu mengisi dasar falsafah negara,
karena kita lebih banyak terpengaruh oleh tekanan, powernow industry. Padahal
jika kita mau konsisten, seperti India yang swadesi dan sebagainya maka berdiri
menjadi negara maju. Karaker Indonesia sudah terlanjur tidak jelas. Salah satu
alasan memperbaiki kurikulum 2013 karena anak Indonesia tidak mampu mengerjakan
soal-soal setara team seperti anak-anak di Amerika. Karakter itu sangat penting
bagi kita, sesuai dengan Pancasila yang pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
kita bisa memakai itu. Sejak kemerdekaan kapan kita mengisi kemerdekaan? Yang
namanya demokrasi Pancasila dalam dunia pendidikan itu apa? Masyarakatnya harus
prulal, heterogenomeus, masyarakatnya harus desentralisasi, menghargai budaya
local. Tetapi pada jaman Pak Suharto arahnya ke monokultur, dari Sabang sampai
Merauke kurikulumnya sama, kurikulum Indonesia, pakaiannya satu yaitu pakaian
Indonesia, tariannya satu yaitu tarian Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar