Berfilsafat
itu menyangkut banyak hal, pendapat para filsuf pasti kita perhatian, sejarah juga
kita perhatikan, pikiran, logika, dan pengalaman kita. Pengalaman sangat penting
termasuk pengalaman berfikir dan membaca. Yang lebih penting adalah bagaimana
kita mendeskripsikan secara profesional ide tentang apa yang ada dan yang
mungkin ada. Kemudian mendeskripsikan tentang sifat berfikir termasuk intuisi.
Jangankan kita yang belajar
filsafat, sedangkan orang awam yang tidak belajar filsafat. Jangankan orang
awam yang tidak belajar filsafat, sedangkan orang yang tidak sekolah. Jangankan
orang yang tidak sekolah, sedangkan anak-anak. Jangankan anak-anak, sedangkan
binatang. Jangankan binatang, sedangkan tumbuh-tumbuhan. Jangankan tumbuh-tumbuhan,
sedangkan batu pun sebenar-benarnya sedang menembus ruang dan waktu. Sebuah
batu yang menembus ruang dan waktu, karena mengalamai masa lampau, sekarang,
dan yang akan datang, mengalami kehujanan, kepanasan, ruag yang mengalami
banyak hujan dan banyak panas.
Menembus
ruang dan waktu bisa sangat sulit dan sangat mudah. Tidur saja menembus ruang
dan waktu karena tiba-tiba saat bangun sudah pagi. Ternyata menembus ruang dan
waktu berdimensi meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Bahkan yang mungkin
ada pun menembus ruang dan waktu, contohnya aku dulu hampir berteman dengan
dia, hampir itu mungkin, tetapi belum, ternyata menembus ruang dan waktu, yang
tidak kita ketahui juga menembus ruang dan waktu. Contohnya soal kesempatan
bekerja. Kita lulus tahun ini dan tahun berikutnya itu berbeda soal ruang.
Bekal yang dipertimbangkan untuk
menembus ruang dan waktu yaitu paham tentang ruang dan waktu, memahami tentang
adanya filsafat phenomenology, dan memahami tentang filsafat fondasionalism dan
anti tesisnya yaitu anti fondasionalism. Sebagai seseorang yang belajar
filsafat itu profesional yaitu lebih detail dan lebih rinci.
Memahami ruang dan waktu. Ruang
berdimensi secara umum, yaitu berdimensi 0, 1, 2, 3, 4, dst. Kita punya
ruang-ruang yang lain baik horisontal maupun vertikal. Contoh fisik ruang
adalah ruang kelas. Ruang yang ada dalam hidup kita adalah ruang berfilsafatnya
menurut versi orang spriritualis. Mulai dari materialism, formalism, normatif, dan
spiritual. Maka setiap hari dan tiap saat tiadalah orang menembus ruang. Sekaligus
kita adalah materialism, formalism, normatif, dan spiritual. Kita adalah ruang
berdimensi tak berhingga. Karena spiritual dimulai dari tingkat 0 sampai spiritual
tingkat tertinggi. Setinggi-tingginnya manusia spiritualnya tidak akan melebihi
nabi dan Tuhan. Seredah-rendahnya manusia jika dia tidak percaya, belum
percaya, atau bahkan memusuhi. Apalagi normatif, normatif itu ilmu. Orang yang tidak
berilmu, misalnya orang gila itu sebenarnya masih punya pengetahuan karena bisa
berjalan dan lain-lain, walaupun tidak berkategori karena kehilangan orientasi
kategori. Contoh menembus ruang dan waktu adalah orang sholat. Saat sujud itu
termasuk normatif sekaligus spiritual. Waktu ada 3 macam, yaitu: waktu
berurutan, waktu berkelanjutan, dan waktu berkesatuan.
Fenomenologi tokonya dalah Husserr.
Isi pokok fenomenologi adalah abstraksi dan idealitas. Sebenar-benarnya manusia
adalah abtraksi, karena hanya bisa melihat satu titik, tidak bisa melihat
banyak titik sekaligus. Berfikir juga tidak bisa sekaligus memikirkan semuanya
pada waktu yang sama, misalnya sedang memikirkan Jakarta maka lupa Surabaya
lupa London, dan sebagainya. Apalagi berbicara, maka tidak bisa mengatakan
semuanya yag dipikirkan secara serempak bersama-sama. Maka harus memilih
kata-kata yang aku katakan. Kata itu ada yang terucap dan tidak terucap. Kata-kata
sangat tidak mencukupi untuk mengatakan semua pikiran. Itulah hakikat dari
abstraksi atau reduksi. Filsafatnya
adalah abstraksionism dan reduksionism. Dan hakikat manusia adalah abstraksi,
itu adalah kodrat.
Keterbatasan adalah karunia dari Tuhan.
Fenomenologi adalah abstraksi, maka Husserr membangun rumah besar yang dipakai
untuk menampung/menyimpan semua yang tidak dipikirkan, yaitu rumah ephoce.
Visualisasinya berbagai macam, bisa dengan melakukan kegiatan2 atau menutup
diri. Belajar matematika misalnya, maka warna, bahan, aromanya semuanya
dimasukan ke dalam ephoce, yang dipikirkan hanya ukuran dan bentuknya. Padahal
segitiga mempunyai sifat meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Dimensi 1 atau
dimensi 2, misalnya materialnya ilmu, maka formalnya ilmu pengetahuan, normatifnya
logos atau filsafat, dan spiritualnya ciptaan.
Yang
ketiga yaitu the foundasionalism and anti foundasionalism. Sebenar-benarnya foundasionalsm
adalah intuisi. Semua umat beragama pasti kaum fondasionalism, karena
menetapkan Tuhan sebagai kausa prima, karena sebab dan dari segala sebab dan
tidak ada yang mendahuluinya. Semua orang yang menikah adalah kaum
fondasionalism. Fondamenya adalah ijab kobul. Maka semua pure mathematics adalah
fondasionalism, karena menempatkan definisi sebagai pondasi. Jika engkau tahu kapan
engkau mulai itulah kaum fondasionalisme, tetapi lebih banyak lagi dunia ini
tidak diketahui kapan mulainya itulah yang disebut intuisionism. Manusia
sekaligus fondasionalism dan intuisionism, itulah yang disebut hidup ini kontradiksi.
Misalnya mengerti besar dan kecil tidak perlu definisi, itulah yang namanya
intuisi. Maka pendidikan di sekolah gagal, siswa benci pada matematika karena
mereka telah terampas intuisinya. Contoh: Bagaimana memahami bilangan 2? 2
adalah 1 + 1. 2 adalah 2 x 1. 2 adalah bilangan prima terkecil. 2 adalah 6 : 3.
Itu terjadi karena definisi. Padahal 2 tidak perlu definisi, karena mereka
sudah tahu sebelum sekolah bahwa tangan mereka ada 2, kakinya ada 2, telinga
ada 2, dan seterusnya. Maka 2 tidak perlu definisi.
Brower
itu anti fondasionalism. Brower ingin mendidik matematika dengan intuisi. Rasa
sayang pada orang tua, agama, berdoa memerlukan intuisi. Mengerti besar kecil,
jauh dekat, panjang pendek adalah intuisi ruang. Lama sebentar adalah intuisi
waktu. Matematika formal, aksioma itu spesial.
Pertanyaan:
1. Bagaimana
mengajarkan matematika sekolah dengan menggunakan intuisi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar