Selasa, 20 November 2012

MENEMBUS RUANG DAN WAKTU


Berfilsafat itu menyangkut banyak hal, pendapat para filsuf pasti kita perhatian, sejarah juga kita perhatikan, pikiran, logika, dan pengalaman kita. Pengalaman sangat penting termasuk pengalaman berfikir dan membaca. Yang lebih penting adalah bagaimana kita mendeskripsikan secara profesional ide tentang apa yang ada dan yang mungkin ada. Kemudian mendeskripsikan tentang sifat berfikir termasuk intuisi.
            Jangankan kita yang belajar filsafat, sedangkan orang awam yang tidak belajar filsafat. Jangankan orang awam yang tidak belajar filsafat, sedangkan orang yang tidak sekolah. Jangankan orang yang tidak sekolah, sedangkan anak-anak. Jangankan anak-anak, sedangkan binatang. Jangankan binatang, sedangkan tumbuh-tumbuhan. Jangankan tumbuh-tumbuhan, sedangkan batu pun sebenar-benarnya sedang menembus ruang dan waktu. Sebuah batu yang menembus ruang dan waktu, karena mengalamai masa lampau, sekarang, dan yang akan datang, mengalami kehujanan, kepanasan, ruag yang mengalami banyak hujan dan banyak panas.
Menembus ruang dan waktu bisa sangat sulit dan sangat mudah. Tidur saja menembus ruang dan waktu karena tiba-tiba saat bangun sudah pagi. Ternyata menembus ruang dan waktu berdimensi meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Bahkan yang mungkin ada pun menembus ruang dan waktu, contohnya aku dulu hampir berteman dengan dia, hampir itu mungkin, tetapi belum, ternyata menembus ruang dan waktu, yang tidak kita ketahui juga menembus ruang dan waktu. Contohnya soal kesempatan bekerja. Kita lulus tahun ini dan tahun berikutnya itu berbeda soal ruang.
            Bekal yang dipertimbangkan untuk menembus ruang dan waktu yaitu paham tentang ruang dan waktu, memahami tentang adanya filsafat phenomenology, dan memahami tentang filsafat fondasionalism dan anti tesisnya yaitu anti fondasionalism. Sebagai seseorang yang belajar filsafat itu profesional yaitu lebih detail dan lebih rinci.
            Memahami ruang dan waktu. Ruang berdimensi secara umum, yaitu berdimensi 0, 1, 2, 3, 4, dst. Kita punya ruang-ruang yang lain baik horisontal maupun vertikal. Contoh fisik ruang adalah ruang kelas. Ruang yang ada dalam hidup kita adalah ruang berfilsafatnya menurut versi orang spriritualis. Mulai dari materialism, formalism, normatif, dan spiritual. Maka setiap hari dan tiap saat tiadalah orang menembus ruang. Sekaligus kita adalah materialism, formalism, normatif, dan spiritual. Kita adalah ruang berdimensi tak berhingga. Karena spiritual dimulai dari tingkat 0 sampai spiritual tingkat tertinggi. Setinggi-tingginnya manusia spiritualnya tidak akan melebihi nabi dan Tuhan. Seredah-rendahnya manusia jika dia tidak percaya, belum percaya, atau bahkan memusuhi. Apalagi normatif, normatif itu ilmu. Orang yang tidak berilmu, misalnya orang gila itu sebenarnya masih punya pengetahuan karena bisa berjalan dan lain-lain, walaupun tidak berkategori karena kehilangan orientasi kategori. Contoh menembus ruang dan waktu adalah orang sholat. Saat sujud itu termasuk normatif sekaligus spiritual. Waktu ada 3 macam, yaitu: waktu berurutan, waktu berkelanjutan, dan waktu berkesatuan.
            Fenomenologi tokonya dalah Husserr. Isi pokok fenomenologi adalah abstraksi dan idealitas. Sebenar-benarnya manusia adalah abtraksi, karena hanya bisa melihat satu titik, tidak bisa melihat banyak titik sekaligus. Berfikir juga tidak bisa sekaligus memikirkan semuanya pada waktu yang sama, misalnya sedang memikirkan Jakarta maka lupa Surabaya lupa London, dan sebagainya. Apalagi berbicara, maka tidak bisa mengatakan semuanya yag dipikirkan secara serempak bersama-sama. Maka harus memilih kata-kata yang aku katakan. Kata itu ada yang terucap dan tidak terucap. Kata-kata sangat tidak mencukupi untuk mengatakan semua pikiran. Itulah hakikat dari abstraksi atau reduksi.  Filsafatnya adalah abstraksionism dan reduksionism. Dan hakikat manusia adalah abstraksi, itu adalah kodrat.
            Keterbatasan adalah karunia dari Tuhan. Fenomenologi adalah abstraksi, maka Husserr membangun rumah besar yang dipakai untuk menampung/menyimpan semua yang tidak dipikirkan, yaitu rumah ephoce. Visualisasinya berbagai macam, bisa dengan melakukan kegiatan2 atau menutup diri. Belajar matematika misalnya, maka warna, bahan, aromanya semuanya dimasukan ke dalam ephoce, yang dipikirkan hanya ukuran dan bentuknya. Padahal segitiga mempunyai sifat meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Dimensi 1 atau dimensi 2, misalnya materialnya ilmu, maka formalnya ilmu pengetahuan, normatifnya logos atau filsafat, dan spiritualnya ciptaan.
Yang ketiga yaitu the foundasionalism and anti foundasionalism. Sebenar-benarnya foundasionalsm adalah intuisi. Semua umat beragama pasti kaum fondasionalism, karena menetapkan Tuhan sebagai kausa prima, karena sebab dan dari segala sebab dan tidak ada yang mendahuluinya. Semua orang yang menikah adalah kaum fondasionalism. Fondamenya adalah ijab kobul. Maka semua pure mathematics adalah fondasionalism, karena menempatkan definisi sebagai pondasi. Jika engkau tahu kapan engkau mulai itulah kaum fondasionalisme, tetapi lebih banyak lagi dunia ini tidak diketahui kapan mulainya itulah yang disebut intuisionism. Manusia sekaligus fondasionalism dan intuisionism, itulah yang disebut hidup ini kontradiksi. Misalnya mengerti besar dan kecil tidak perlu definisi, itulah yang namanya intuisi. Maka pendidikan di sekolah gagal, siswa benci pada matematika karena mereka telah terampas intuisinya. Contoh: Bagaimana memahami bilangan 2? 2 adalah 1 + 1. 2 adalah 2 x 1. 2 adalah bilangan prima terkecil. 2 adalah 6 : 3. Itu terjadi karena definisi. Padahal 2 tidak perlu definisi, karena mereka sudah tahu sebelum sekolah bahwa tangan mereka ada 2, kakinya ada 2, telinga ada 2, dan seterusnya. Maka 2 tidak perlu definisi.
Brower itu anti fondasionalism. Brower ingin mendidik matematika dengan intuisi. Rasa sayang pada orang tua, agama, berdoa memerlukan intuisi. Mengerti besar kecil, jauh dekat, panjang pendek adalah intuisi ruang. Lama sebentar adalah intuisi waktu. Matematika formal, aksioma itu spesial.

Pertanyaan:
1.      Bagaimana mengajarkan matematika sekolah dengan menggunakan intuisi?

Tidak ada komentar: